Peran Bupati di Priangan Pada Masa Kolonialisme Belanda



Berbicara mengenai Bupati, Bupati dalam konteks otonomi Daerah di Indonesia adalah kepala daerah untuk daerah kabupaten. Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk daerah kota. Pada dasarnya, bupati memiliki tugas dan wewenang untuk memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di kabupaten setempat. Sebelum tahun 1945 gelar bupati sebenarnya hanya dipakai di pulau Jawa, Madura, dan Bali. Dalam bahasa Belanda, bahasa administrasi resmi pada masa Hindia Belanda, bupati disebut sebagai regent, dan istilah inilah yang dipakai sebagai padanan bupati dalam bahasa Inggris. Semenjak kemerdekaan, istilah bupati dipakai untuk menggantikan regent seluruh wilayah Indonesia. 
Para bupati dan walikota terus berupaya untuk menjaga dan menciptakan suatu kota dan setiap wilayah tetap aman, tentram, damai, dan sejahtera. Para bupati dan walikota dipastikan memiliki beberapa program kerja untuk beberapa tahun mendatang yang harus diselesaikan demi menciptakan suatu kota dan suatu wilayah yang semakin baik. Selain itu para bupati dan walikota berlomba membangun image sebaik-baiknya agar terus mendapatkan kesan baik dari masyarakatnya.  Dan banyak masyarakat yang puas terhadap kinerja pemimpin-pemimpin dalam lingkup kota atau wilayah tersebut. Namun tak jarang pulang ada bupati dan walikota yang menyalahgunakan jabatan mereka demi kepentingan pribadi. Diantaranya adalah tidak merealisasikan apa yang telah dijanjikan saat mereka melakukan kampanye. Banyak program kerja yang tidak dilaksanakan secara optimal. Bahkan terjadi pula kasus korupsi yang dilakukan oleh para bupati dan walikota. Terdapat perbedaan dari peran bupati saat ini dengan peran bupati pada masa kolonialisme Belanda. para bupati Priangan saat itu ditugaskan oleh para kompeni untuk mengawasi jalannya Preanger Stelsel. Orang Belanda menyebut para bupati dengan sebutan regent
Menak merupakan kaum elite yang ada di wilayah Priangan. Sebutan menak ini merupakan sebutan yang disematkan kepada kaum aristokrasi lokal yang terdiri dari para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Pada masa pra-kolonial kaum Menak merupakan golongan sosial yang berada dalam strata tinggi. Pada masa kolonial para kaum Menak ini menjadi perpanjangan tangan Belanda untuk mengatur rakyat di Priangan, terutama untuk memproduksi tanaman Kopi yang telah melonjak dengan pesat pada waktu itu. Kaum Menak ini dianggap berasal dari para keturunan raja-raja Sunda pada masa lampau, bangsawan dan ada yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kaum Menak yang datang dari rakyat biasanya diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda berkat jasa-jasa mereka. 
Bupati di Pulau Jawa dan khususnya di Priangan mempunyai kedudukan dan peranan penting serta unik dalam penyesuaian budaya sendiri terhadap modernisasi yang ditimbulkan oleh pemerintah kolonial. Dibawah kekuasaan Mataram, bupati di Priangan merupakan Elite penguasa yang memiliki otoritas penuh untuk memerintah di daerah kekuasaannya. Hal ini disebabkan bupati – bupati di Priangan sejajar dengan bupati – bupati di daerah mancanegara yang memiliki kekuasaan besar. Ada dua faktor dasar yang menyebabkan bupati di daerah mancanegara memiliki kekuasaan besar. Pertama, karena struktur pemerintahan Mataram merupakan garis hierarkis, terdiri atas unit – unit kekuasaan yang terpisah – pisah. Kedua, besarnya kekuasaan kepala daerah di mancanegara disebabkan oleh beberapa kondisi, yaitu letak daerah mancanegara jauh dari pusat kekuasaan dan belum ada sarana transportasi dan komunikasiyang memadai. Kedudukan bupati sebagai penguasa daerah, digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara pemerintah dengan masyarakat pribumi dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Kedudukan bupati di Priangan cenderung menurun pada bagian akhir kekuasaan Kompeni. Adapun awal dari kekuasaan kompeni di Priangan ini diawali setelah meninggalnya Sultan Agung meninggal (1645) yang menyebabkan Mataram berangsur – angsur menjadi lemah akibat kemelut yang terjadi di dalam kerajaan dan serangan dari luar. Wilayah priangan jatuh ketangan Kopeni dalam dua tahap akibat perjanjian Mataram – Kompeni tahun 1677 dan 1705. Pada tahap pertama kompeni memperoleh wilayah Priangan Barat dan Tengah. Pada tahap kedua Kompeni menguasai wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Pada mulanya Mataram menyerahkan daerah Priangan kepada Kompeni hanya sebagai pinjaman. Tetapi karena Mataram bertambah lemah, maka penguasa kerajaan itu makin sering meminta bantuan ke Kompeni. Akibatnya, Kompeni berkuasa penuh atas wilayah Mataram termasuk Priangan. Akan tetapi, penurunan itu hanya terjadi pada kedudukan bupati sebagai kepala daerah. Pada abad ke-19, kedudukan bupati mengalami masa turun- naik, diawali oleh perubahan drastis, dari bupati sebagais kepala daerah menjadi bupati sebagai aparat pemerintah kolonial ( pemerintah Hindia – Belanda). Perubahan itu terjadi akibat kebijakan pemerintah kolonial yang berupaya untuk menjalankan sistem pemerintahan langsung.
Upaya pemerintah kolonial ternyata gagal akibat kuatnya kedudukan dan peranan bupati sebagai pemimpin tradisional serta ikatan feodal antara bupati dengan rakyat.  Namun, struktur pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial mengakibatkan kekuasaan bupati menjadi berkurang. Kedudukan dan kekuasaan bupati sebagai kepala daerah merosot akibat proses birokrasi pemerintah kolonial. Sistem pemerintahan tak langsung yang terpaksa dijalankan oleh pemerintahan kolonial, menyebabkan bupati berperan sebagai perantara pihak kolonial dengan lembaga tradisional ( komunitas desa ). Dalam hal ini bupati harus memainkan peran ganda. Selaku pemimpin tradisional, bupati harus bersikap dan bertindak dalam ikatan feodal tradisional. Sebagai aparat pemerintah kolonial bupati harus menjalankan fungsi dan peranan sesuai dengan status tersebut. Disinilah letak keunikan posisi bupati pada masa kekuasaan kolonial, khususnya pada abad ke-19.

Adanya fungsi ganda bupati menyebabkan para bupati memegang peranan penting, baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidanng politik, bupati berperan sebagai basis kekuasaan pemerintah kolonial. Di bidang ekonomi, bupati di priangan memegang peranan penting dalam mekanisme produksi hasil bumi, terutama kopi, karena pemerintah kolonial mempertahankan Preangerstelsel ( Sistem Priangan ). Dalam bidang sosial budaya, bupati berperan sebagai innovator dalam proses akulturasi kebudayaan antara budaya tradisional Sunda di satu pihak dengan budaya Barat di pihak lain. Dipertahankannya Preangerstelsel, pada satu sisi menyebabkan kedudukan bupati di Priangan berbeda dengan bupati di daerah lain. Pada sisi lain, berlangsungnya Preangerstelsel menyebakan bupati dapat mempertahankan prestise, gaya hidup, dan pengaruh terhadap rakyat sebagai bentuk otoritas yang sah, paling tidak otoritas sebagai pemimpin tradisional.

Meskipun kedudukan formal bupati pada abad ke-18 secara politis mengalami penurunan, tetapi peranan bupati bagi Kompeni tetap penting. Bupati dengan charisma pribadinya merupakan basis kekuatan untuk menggerakkan rakyat, sedangkan Kompeni tidak memiliki pengaruh terhadap rakyat, karena ruang lingkup kekuasaanya hanya sampai bupati. Kedudukan bupati pada abad ke – 19 juga mengalami masa turun – naik, hal ini sejalan dengan silih bergantinya pemimpin pemerintahan dengan politik yang berbeda – beda, tetapi prestise dan pengaruh bupati terhadap rakyat tidak berubah, bahkan bertambah besar. Simbol – simbol berupa gelar kepangkatan dan atribut – atribut kebesaran lain yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para bupati, seara politis justru menambah prestise dan memperbesar wibawa atau pengaruh bupati terhadap rakyat. Pemberian simbol – simbol kebesaran itu berarti pemerintahan kolonial justru memperkuat feodalisme di kalangan bupati.

Sesungguhnya kebijakan pemerintah kolonial itu memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memperbesar loyalitas para bupati kepada pemerintah. Kedua, agar bupati berperan lebih aktif dalam prases produksi hasil tanaman wajib. Dalam prases itu, bupati menduduki posisi dan memegang peranan penting sebagai “ kunci” keberhasilan eksploitasi kolonial. Bagi bupati, hal itu justru menyebabkan mereka mampu memelihara dan mempertahankan konsensus masyarakat akan status bupati. Dalam pandangan masyarakat tradisional, kedudukan bupati bersifat “ sacral “. Pandangan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa jabatan bupati berlangsung secara turun – menurun, bahkan berupaya untuk menghapuskan jabatan tersebut.








A.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar